Landak laut atau disebut juga bulu babi (Echinoidea) merupakan hewan laut yang berbentuk bundar dan memiliki duri pada kulitnya yang dapat digerakkan. Binatang ini terbagi menjadi sekitar 950 spesies dan dapat ditemukan mulai dari daerah pasang surut sampai di kedalaman 5.000 meter.[1]
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki lebih dari 17.000 pulau yang terbentang sepanjang garis khatulistiwa. Sebagai negara maritim, tentu saja Indonesia mempunyai potensi kekayaan laut yang luar biasa. Bahkan kita memiliki keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia, setelah Brazil. Namun sayangnya, kita belum memaksimalkan potensi bahari kita karena kurangnya dukungan pemerintah, rendahnya pengetahuan, belum tingginya semangat kewirausahaan, dan sebagainya. Komoditas ekspor utama kita masih dari sektor perminyakan, pertambangan, perkebunan, kayu, dan tekstil.
Saat ini, pengembangan potensi perairan lebih banyak difokuskan pada wisata bahari dan industri perikanan. Ikan laut sudah lama diketahui memiliki kandungan protein tinggi dan merupakan komoditas utama. Namun, selain ikan, udang, kepiting, dan lain-lain, laut kita juga sebenarnya memiliki potensi lain, seperti rumput laut, kuda laut, bulu babi atau landak laut yang seringkali dianggap tidak menguntungkan. Pandangan seperti itu terjadi karena rendahnya pengetahuan masyarakat bahkan pemerintah sendiri akan manfaat dan nilai ekonomi hewan-hewan laut tersebut.
Sebagai contoh, bulu babi atau landak laut (sea-urchin). Bulu babi (Echinoidea) merupakan hewan laut berbentuk bulat, berduri, dan hidup di lautan manapun di seluruh dunia. Warnanya ada yang hitam, hijau, coklat, ungu, dan merah. Makanan utama mereka adalah ganggang (algae). Telurnya (sea urchin roe) mengandung protein tinggi (hingga 70%), asam amino, zat besi, dan mineral, sehingga bermanfaat untuk vitalitas, mengatur metabolisme, rendah kolesterol, dan menurunkan tekanan darah.
Dengan manfaatnya yg besar, telur bulu babi menjadi bahan baku untuk industri farmasi dan industri makanan. Di kawasan Mediterania, Amerika Utara, Cili, Selandia Baru, telurnya kerap dimakan mentah bersama jeruk lemon. Di Jepang, roe dikenal dengan nama ‘uni’ dan merupakan bahan baku sushi dan sashimi. Jepang mengimpor bulu babi dari Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Selain untuk dikonsumsi, hampir semua bagian tubuh bulu babi dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi produk bermanfaat (zero waste product). Cangkangnya bisa dijadikan bahan baku kerajinan tangan atau diolah menjadi tepung sebagai bahan pakan ternak. Sedangkan usus ya dapat dijadikan pupuk organik.
BUDIDAYA BULU BABI
Potensi bulu babi ini pertama kali dilirik oleh Yuri Pratama, salah satu pendiri Urchindonesia yang bergerak dalam pembudidayaan binatang laut tersebut. Menariknya, Yuri sama sekali tidak memiliki latar belakang dunia perikanan. Perkenalan alumnus FISIP-UI ini dengan bulu babi bermula ketika melakukan riset ekowisata di Pulau Menjangan, Gilimanuk, Bali. Di sana, Yuri memperhatikan para nelayan yang tengah membersihkan karang dan menyingkirkan bulu babi.
Kembali ke Jakarta, Yuri lalu mengumpulkan berbagai informasi mengenai bulu babi di internet. Informasi dan literatur yang terbatas mendorongnya untuk mencari informasi ke LIPI, mendatangi para pakar kelautan, maupun belajar dari nelayan tentang hewan laut itu. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, ia kemudian nekat untuk mengembangkan usaha bulu babi ini. Padahal saat memulai usaha tersebut, pihak keluarga dan bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan memandang rendah idenya tersebut.
Setelah itu, Yuri lalu mencari tahu prospek pasar dan target pasar, yakni restoran Jepang dan perusahaan farmasi. Ia juga harus menentukan lokasi budidaya yang sesuai. Akhirnya ia memilih Pulau Tidung, dalam gugusan Kepulauan Seribu sebagai tempat usahanya. Alasannya, lokasi tersebut dekat dengan Jakarta yang ia anggap sebagai gerbang pasar yang potensial. Selain itu, lokasi tersebut sudah ada listrik, sarana transportasi, serta memiliki SDM yang memadai.
Maka bermodal keyakinan dan uang sebesar Rp 20 juta, Yuri memulai usaha ini dari tahun 2008. “Jual motor dan masa prihatin selama dua bulan karena sulit mengubah mindset nelayan. Nelayan lebih suka ikut pelayaran samudera dan menyabung nyawa di lautan lepas ketimbang meyakini untuk memulai budidaya bulu babi,” jelasnya. Ia lalu memperkenalkan sistem ini ke beberapa kelompok nelayan, bukan individual. Untunglah, jika semula hanya tiga nelayan yang mau bermitra dengannya pada 2009, maka sekarang sedikitnya sudah ada 20 nelayan yang mau bekerjasama.
Jika pada mulanya, Yuri hanya membuat satu keramba bulu babi sederhana dengan biaya Rp 4-5 juta, “Sekarang, saya memiliki tujuh keramba bulu babi di Pulau Tidung, Pulau Panggang, dan Pulau Pari,” lanjut dia bangga.
Selama memulai dan membangun bisnisnya, Yuri banyak melakukan trial-and-error dan berhasil mendapatkan data tentang musim panen, yakni Februari-Maret, Juni–Juli dan November. “Biasanya mereka bereproduksi saat bulan purnama berlangsung,” Yuri menambahkan. Meski demikian, hal tersebut masih butuh validasi lebih lanjut. Selain itu, Yuri juga jadi mengetahui bahwa seekor bulu babi seberat 300gr dapat menghasilkan telur sebanyak 25–35% dari total beratnya.
Dalam sekali masa panen, ia dapat memanen bulu babi sekitar 80-100 kg. Seekor bulu babi hidup seberat 300 gr dihargai USD 1. Untuk bulu babi yang kualitasnya kurang bagus, umumnya dijual dalam bentuk kering, dihargai Rp 180.000–230.000/kg. Yuri menargetkan untuk memanen bulu babi hingga 300 kg. Rencananya, Yuri akan mendirikan fasilitas pembenihan dengan kapasitas 1.000 ekor yang menelan dana Rp 20 juta. Yuri berharap, setelah fasilitas pembenihan berdiri, kapasitas produksi telur bulu babi bisa meningkat.
Lalu, kemana panen itu dijual? Pada saat merintis usaha, panen pertamanya sebanyak 50 kg telur bulu babi habis digunakan untuk contoh produk dan promosi, guna merambah jaringan pasar. Yuri mendatangi sejumlah restoran Jepang di Jakarta. Namun, pengelola restoran yang terbiasa dengan produk impor masih ragu membeli telur bulu babi dari Yuri, meskipun harganya lebih murah. Yuri menawarkan harga Rp 250 ribu/kg, sementara produk impor dari kawasan ASEAN harganya USD 30 dan di Jepang sendiri mencapai USD 300/kg. Tak habis akal, Yuri menjajal segmen pasar lainnya, yaitu perusahaan farmasi di Semarang. Terobosan lainnya adalah masuk ke pasar swalayan khusus untuk warga Jepang.
Meski peluang ekspor begitu besar, Yuri ingin fokus menundukkan pasar dalam negeri terlebih dahulu. Ia ingin menjadi pemain lokal terkemuka di bisnis telur bulu babi sekaligus menjadi proyek akhiratnya untuk mengangkat kaum nelayan Indonesia menjadi sejahtera. Karena selama ini, untuk produk ikan laut, para nelayan tidak pernah menikmati harga jual yang layak. Sebaliknya para pengepul dan pedagang besarlah yang menikmati keuntungan besar.
Urchindonesia memiliki value 3P, yakni:
1. Profit
Setiap entitas usaha harus dapat menciptakan laba agar bisa meningkatkan kesejahteraan.
2. People
Melibatkan dan memberdayakan sebanyak mungkin nelayan dengan konsep kemitraan dan bagi hasil yang riil, yakni 50:50.
3. Planet
Kepedulian terhadap lingkungan dengan mengambil bulu babi yang merupakan hama bagi terumbu karang.
Ia berharap budidaya bulu babi ini dapat menjadi usaha alternatif bagi nelayan di Kepulauan Seribu ditengah cuaca dan iklim laut yang tidak bersahabat, himpitan biaya melaut yang tinggi, kesulitan dalam hal mencari ikan di laut (yang mendorong terjadinya praktik illegal fishing dan perusakan terumbu karang oleh nelayan), serta risiko lainnya. Yuri juga ingin menciptakan nelayanpreneur, yaitu nelayan yang juga wirausaha serta mandiri.
Tujuan jangka panjang Yuri adalah menjadikan usaha budidaya bulu babi sebagai bagian dari industri bahari yang kuat.
Menurutnya, kawasan Indonesia Timur sangat potensial digunakan sebagai lokasi beternak bulu babi. “Kami sudah ada partner di Maluku dan Makassar yang akan segera mulai mengembangkan usaha ini,” imbuh Yuri. Selain itu, ia juga ingin meningkatkan nilai tambah telur bulu babi ini menjadi industri produk telur bulu babi dalam kaleng (seperti di Filipina) yang mampu memberikan lebih banyak lapangan kerja. Sebuah mimpi yang besar.
Yuri menekankan agar dalam merintis usaha ingat 3M:
1. Mulai dari diri sendiri,
2. Mulai dari yang kecil, dan
3. Mulailah SEKARANG!
=========================================
sumber : www. http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2012/01/22/bulu-babi-dari-sampah-menjadi-emas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar